Perpat Babel Lapor Ke Presiden Beberkan ‘Kejanggalan’ Penanganan Mega Korupsi Timah Rp 271 Triliun

Perpat Babel Lapor Ke Presiden Beberkan ‘Kejanggalan’ Penanganan Mega Korupsi Timah Rp 271 Triliun

Ketua umum Perpat, Dr Andi Kusuma SH Mkn CTL

BANGKABELITUNG,MHP.com – Melalui surat resmi yang dibuat pada tanggal 4 Februari 2025, atas nama organisasi Perkumpulan Putra Putri Tempatan Bangka Belitung (Perpat Babel), aktivis organisasi masyarakat tempatan ini akhirnya beberkan ‘kejanggalan’ penanganan perkara mega korupsi timah Rp 271 Triliun oleh pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI).

Surat Perpat Babel tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, nomor surat : 040/TM/PERPAT/I/2024. Surat ini pun berisikan perihal permohonan “Tindak Lanjut Atas Aspirasi Masyarakat Terhadap Keprihatinan Penegakkan Hukum Yang Tidak Memiliki Nilai Kebermafaatan Akibat Mempertahankan Sebuah Kekeliruan Hukum Sehingga Membuat Perekonomian Masyarakat Bangka Belitung Menjadi Terpuruk“.

Dikatakan ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perpat, Dr Andi Kusuma SH MKn CTL dalam siaran pers yang disampaikan kepada tim media ini, Rabu (5/2/2025). Menurutnya, dampak negatif dari hasil penanganan perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) atau akibat penerapan hukum justru dinilai pihaknya tidak memiliki nilai kebermanfaatan.

“Selain tidak ada rasa keadilan dan kepastian hukum telah berdampak pada terpuruknya perekonomian masyarakat Bangka Belitung,” ungkap advokat dikenal sangat vokal ini.

Begitu pula menurut Andi, jika berdasarkan landasan moral jaksa, maka sudah sepatutnya para jaksa yang tergabung dalam Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menjalankan Tri Krama Adhyaksa yang terdiri dari tiga pilar utama Satya, Adhi, dan Wicaksana.

“Berbicara soal pilar wicaksana maka jaksa harus memegang teguh prinsip bijaksana. Kebijaksanaan yang dimaksud seorang jaksa harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dengan baik,” terangnya.

Ia menambahkan, selain mempertimbangkan semua fakta dan bukti yang ada, juga harus memperhitungkan dampak dari setiap keputusan yang diambil. Begitu pula, kebijaksanaan menurutnya juga harus mencakup kemampuan untuk bersikap fleksibel dalam menerapkan hukum, terutama ketika dihadapkan dengan situasi yang kompleks.

“Seorang jaksa tidak hanya dituntut untuk menegakkan hukum secara kaku, tetapi juga harus mampu memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi dari setiap kasus yang ditanganinya,” tegasnya.

Oleh karena itu kembali ditegaskanya, berdasarkan pilar Satya, Adhi, dan Wicaksana seharusnya jaksa dapat menerapakan prinsip moral sebagaimana hal yang diuraikanya di atas.
Namun sangat disayangkanya, justru faktanya terhadap nilai wicaksana tersebut disinyalir tidak ditegakkan dengan sebenar-benarnya.

“Sehingga kami hanya dapat menggantungkan nasib keadilan masyarakat sipil biasa kepada Perwakilan Rayat Republik Indonesia,” tegasnya.

Begitu pula, sebagai perwakilan dari masyarakat Bangka Belitung, pihaknya hanya menuntut kehadiran hukum yang seharusnya berlaku di masyarakat. Sebab menurutnya, bagaimana mungkin pihaknya sebagai masyarakat sipil biasa dapat percaya pada hukum.

“Jikalau atau apabila penerapan hukum yang berprinsip pada keadilan, kebermanfaatan, serta kepastian ditegakkan dalam alur yang salah, ” singgungnya.

Oleh karenanya, jika surat yang dilayangkan pihaknya (Perpat Babel) kepada Presiden RI tak lain ditegaskan Andi yakni merupakan bentuk keprihatian pihaknya sebagai masyarakat Bangka Belitung saat ini kondisinya jelas-jelas terdampak pada perkara megakorupsi tata niaga timah ini.

“Kami hanya meminta agar dapat dilakukan penegakkan hukum berdasarkan prinsip/ alur yang benar sebagaimana diuaraikan diatas,” pungkasnya.

* Uraian Detil Kejanggalan Penerapan Hukum

Tak dipungkiri Andi, jika saat ini jagat masyarakat Indonesia terutama masyarakat Bangka Belitung sedang dihebohkan dengan perkara kontroversial “mega korupsi tata niaga timah” dengan nilai kerugian negara yang didalilkan oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp 271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun);

Perkara ini telah menjerat pihak PT. Timah Tbk bersama perusahaan smelter swasta di Bangka Belitung, dan diketahui pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengkategorikan perkara yang menjerat pihak PT Timah Tbk bersama perusahaan smelter lainnya sebagai “tindak pidana korupsi.

Namun atas penggolongan tindak pidana tersebut, menurut pihaknya justru disinyalir telah terjadi eror in objecto karena perkara ini seharusnya bukan tergolong kedalam tindak pidana korupsi.

Sebagaimana dalam surat dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum disebutkan apabila perkara ini telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun);

Akan tetapi, tidak terdapat unsur merugikan keuangan negara sebagaimana didalilkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Hal ini disebutkanya bukan tanpa alasan, melainkan telah diatur secara eksplisit melalui peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi sebagaimana Kami uraikan dibawah ini;

Menurutnya, jika berdasarkan Pasal 1 huruf a Angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2017 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kedalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium berbunyi :


“Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk yang statusnya sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1976 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara
Tambang Timah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)”.

Bahwa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan mandat kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) sebagai induk perusahaan dalam Holding Industri Pertambangan termasuk didalamnya adalah PT Timah Tbk.

Begitu pula berdasarkan uraian Peraturan Pemerintah tersebut diatas maka pada prinsipnya tegas Andi PT Timah Tbk bukan lagi sebagai Perusahaan Negara Tambang Timah melainkan Perusahaan Perseoroan (Persero);

Bahwa sebagai satu Perusahaan Perseroan (Persero), maka PT Timah Tbk tergolong kedalam anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Selanjutnya, jika mengacu pada hal tersebut maka secara prinsip penegakkan hukum pun, terdapat perbedaan antara penanganan perkara yang terjadi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Perusahaan Perseoran (Persero);

Apabila berbicara mengenai penanganan perkara tindak pidana korupsi, maka telah terjadi polemik dalam melaksanakan penegakan hukum pada BUMN dan Perusahaan Perseroan.

Padahal telah terdapat 3 (tiga) yurisprusdensi Mahkamah Agung RI yang memutus bahwa anak perusahaan BUMN tidak termasuk dalam lingkup Pengadilan Tipikor sebagaimana berikut :


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 121/K/Pid.Sus/2020, sebagaimana dikutip sebagai berikut : “Keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan Negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU
Pres/XVII/2019.

Sehingga, kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah kerugian keuangan Negara oleh karena PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3849/K/Pid.Sus tanggal 2 Desember 2019 atas nama Terdakwa Frederick ST Siahaan, sebagaimana dikutip sebagai berikut:

“Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maka PT Pertamina Hulu Energi (PT PHE) sebagai anak perusahaan PT Pertamina (persero) tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak Perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki BUMN dengan kata lain modal atau saham PT PHE tersebut sebagian besar dimiliki BUMN, tidak berasal dari penempatan langsung dari Negara yakni dari APBN atau APBD. Dengan kata lain, PT PHE bukan BUMN sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban”

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 121/K/Pid.Sus/2020 tanggal 9 Maret 2020 dengan Terdakwa Karen Agustiawan, sebagaimana dikutip pertimbangan Hakim Agung sebagai berikut:


“Bahwa keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan Negara sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU Pres/XVII/2019 sehingga kerugian yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah kerugian keuangan Negara oleh karena PT Pertamina Hulu Energi sebagai anak perusahaan PT Pertamina tidak tunduk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.

Selanjutnya, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama dipersidangan ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam konstruksi hukum pada mega korupsi tata niaga timah sebagaimana Kami uraikan dibawah ini :
• Perkara megakorupsi tata niaga timah ini telah menjerat korporasi swasta (smelter) bersama badan usaha milik Negara (BUMN) PT. Timah Tbk yang terikat kontrak kerjasama;
• Kemudian, menjadi menarik adalah mengapa kontrak kerjasama dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?
• Oleh karenanya, hal ini menjadi semakin krusial dimana salah satu perusahaan smelter swasta di wilayah Bangka Belitung yaitu PT. Stanindo Inti Perkasa turut didalilkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam perkara mega korupsi tata niaga timah.

Padahal secara kedudukan hukum (legal standing), PT Stanindo Inti Perkasa telah berjalan berdasarkan kontrak perjanjian sebagaimana berlaku asas “pacta sunt servanda” (perjanjian layaknya undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri kedalamnya;


• Apabila mengacu pada fakta tersebut maka pada prinsipnya hubungan antara PT. Stanindo Inti Perkasa dengan PT. Timah Tbk hanya terbatas pada hubungan keperdataan;
• Bahwa pun apabila dipermasalahkan, telah terjadi pemenuhan “prestasi” atau kewajiban sebagaimana tertuang dalam kontrak perjanjian;
• Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka seharusnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak boleh mencampur adukan antara hubungan keperdataan dengan hubungan hukum publik
(pidana);

Bahwa berdasarkan dalil-dalil sebagaimana disampaikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyebutkan apabila PT. Stanindo Inti Perkasa memenuhi unsur tindak pidana korupsi karena :
• Melakukan pembelian dan/atau pengumpulan bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk;
• Menerima pembayaran bijih timah dari PT. Timah, Tbk yang diketahuinya bijih timah yang dibayarkan tersebut berasal dari
penambang illegal dari wilayah IUP PT. Timah, Tbk;
• Mengadakan pertemuan dengan MOCHTAR RIZA PAHLEVI TABRANI selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan ALWIN ALBAR selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk dan 27 (dua puluh tujuh) pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan MOCHTAR RIZA PAHLEVI TABRANI dan ALWIN ALBAR atas bijih timah sebesar 5% (lima persen) dari kuota ekspor smelter-smelter swasta karena bijih timah yang diekspor oleh smelter-smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk;
• Melakukan pertemuan-pertemuan dengan PT Timah Tbk untuk membahas sewa menyewa smelter dan menyepakati harga sewa smelter yang akan dibayarkan PT Timah, Tbk tanpa didahului study kelayakan (Feasibility Study) atau kajian y UNang memadai/mendalam sehingga terdapat kemahalan harga atau harga sudah ditetapkan sebelumnya dan tanpa seleksi/pemilihan rekanan yang wajar;
• Memberikan modal uang kepada para kolektor dan penambang illegal yang melakukan penambangan di wilayah IUP PT Timah Tbk.
• Mengetahui bahwa bijih timah yang nantinya dimurnikan dalam kegiatan kerjasama sewa peralatan processing penglogaman dengan PT Timah Tbk, tersebut berasal dari penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah Tbk;
• Terdapat kemahalan harga dan mengetahui bahan baku bijih timah berasal dari penambangan tidak sah/kolektor yang tidak berijin;
• Menyerahkan biaya pengamanan sebesar USD500 s/d USD750 per ton yang seolah-olah dana CSR Coorporate Social Responsibility (CSR) kepada HARVEY MOEIS atas permintaan HARVEY MOEIS, dimana dana tersebut kemudian dikelola HARVEY MOEIS melalui HELENA selaku Beneficial Owner PT Quantum Skyline Exchange;

Bahwa berdasarkan rumusan dalil sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum sungguh adalah suatu tanda besar, bagaimanakah relavansi antara dakwaan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena tidak ada satupun unsur yang memenuhi delik tindak pidana korupsi;

Bahwa apabila mengacu pada kilas balik perkara maka PT. Stanindo Inti Perkasa telah menjalankan kerjasama secara legal berdasarkan Perjanjian Nomor :740/Tbk/SP-0000/18-S11.4;

Bahwa apabila dipermasalahkan mengenai poin-poin sebagaimana duraikan dalam nomor 13 surat laporan ini, maka berikut Kami uraikan kembali mengenai fakta-fakta sebenarnya sebagaimana telah terungkap di persidangan :
• Bahwa Perjanjian Nomor :740/Tbk/SP-0000/18-S11.4 berisikan tentang perjanjian sewa menyewa peralatan processing untuk penglogaman timah dengan pemurnian jumlah material sebesar 98,5%.
• Bahwa dalam perjanjian tersebut disebutkan apabila seluruh produk yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan, pemurnian dan atau pemurnian bijih timah berasal dari IUP OP PT. Timah Tbk;
• Bahwa PT. SIP hanya sebagai penyewa peralatan processing penglogaman bukan sebagai perusahaan penambang;
• BAHWA PT. SIP TIDAK PERNAH MELAKUKAN DAN ATAU BERAKTIVITAS SEBAGAI PERUSAHAAN PENAMBANG YANG MENGAKIBATKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN.
• Adapun apabila dipermasalahkan mengenai Perjanjian Kerjasama antara PT. Timah Tbk dan PT SIP maka pada prinsipnya Jaksa Pengacara Negara (JPN) berwenang memberikan pertimbangan hukum kepada perusahaan BUMN meliputi pendapat hukum (legal opinion), pendampingan hukum dan audit hukum berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : 040/A/J/A/12/2010 tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi, Wewenang Perdata Dan Tata Usaha Negara. Apabila ternyata terdapat kekeliruan dalam kontrak perjanjian yang dilakukan oleh PT. Timah Tbk maka dimanakah peran Jaksa Pengacara Negara sebagaimana telah diamanahkan dalam berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : 040/A/J/A/12/2010 dalam memberikan Legal Opinion (LO) kepada perusahaan BUMN (PT. Timah Tbk).
• Bahwa dalam surat dakwan Jaksa Penuntut Umum disebutkan terdapat kemahalan harga jasa peleburan timah PT. SIP yaitu USD 3700/ ton
• Harga tersebut disebut memiliki selisih yang cukup besar dengan ketentuan harga yang ditetapkan oleh PT. Timah Tbk yaitu hanya sekitar USD 1000/ton.
• Bahwa kemahalan harga inilah yang kemudian didalilkan sebagai kerugian negara yang diakibatkan oleh PT. SIP dengan akumulasi Rp 2.200.704.628.766

    NAMUN DALAM MENDALILKAN KERUGIAN NEGARA TERSEBUT
    KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 DAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 2 TIDAK MEMPERTIMBANGKAN MENGAPA DITETAPKAN HARGA PELEBURAN SEDEMIKIAN RUPA, PERTIMBANGAN APA SAJA YANG MELANDASI KESEPAKATAN HARGA MAUPUN PERTIMBANGAN LAIN SEBAGAIMANA TELAH DI TETAPKAN OLEH PT TIMAH YANG AKAN KAMI BAHWA SEBAGAI BERIKUT DIBAWAH INI :
    a. Bahwa perlu diketahui yang menetapkan harga peleburan adalah PT. Timah Tbk itu sendiri;
    b. Kesepakatan penggunaan alat processing peleburan tersebut disetujui karena mesin peleburan milik PT. Stanindo Inti Perkasa lebih hemat dalam cost karena mesin peleburan milik PT. Stanindo Inti Perkasa menggunakan tanur listrik sedangkan mesin peleburan milik PT. Timah Tbk menggunakan mesin reverb dengan bahan bakar solar sehingga memerlukan biaya lebih untuk penggunaan solar.
    c. Selain itu pada pokoknya secara teknis mesin tanur milik PT. Stanindo Inti Perkasa hanya dalam satu kali peleburan dapat mencapai recovery 93% berbanding terbalik dengan PT. Timah Tbk yang memerlukan berkali kali peleburan (2-3 kali) untuk mencapai recovery 93% .
    d. Sehingga apabila dipandang dari sudut pembiayaan tentunya lebih minim cost pada mesin peleburan milik PT. Stanindo Inti Perkasa dibandingkan dengan mesin peleburan milik PT. Timah Tbk. Walapun diketahui harga peleburan pada mesin peleburan milik PT. Timah Tbk adalah USD 1000 dan peleburan melalui mesin peleburan PT. Stanindo Inti Perkasa adalah USD 3700 akan tetapi pada perhitungan nya tetap lebih minim cost pada mesin milik PT. Stanindo Inti Perkasa karena hanya memerlukan satu kali peleburan dan tidak memerlukan solar;
    e. Bahwa apabila diakumulasikan pun biaya peleburan menggunakan mesin reverb milik PT. Timah Tbk adalah sekitar USD 3000/ton (belum termasuk solar) sehingga pada prinsipnya mesin peleburan milik PT. SIP lebih efektif, hemat dan fleskbel;


    f. Bahwa berdasarkan kesepakatan dan data keuangan yang dimiliki oleh PT. SIP, kesepakatan harga peleburan sebesar USD 3700 meliputi harga sewa alat peleburan (processing) sebesar USD 3700/ ton adalah sebagai berikut :
    • Biaya tenaga kerja
    • Biaya bahan penolong/bahan pendukung
    • Biaya suku cadang/ impor/ listrik
    • Biaya peleburan
    • Biaya sewa gudang bijih timah
    • Biaya administrasi dan umum termasuk bunga bank yang timbul akibat keterlambatan pembayaran, biaya penyusutan dan biaya CSR (biaya CSR yang dimaksud adalah biaya bantuan sosial yang diberikan berdasarkan insiatif PT Stanindo Inti Perkasa, biasanya pihak kelurahan/masyarakat yang membawa proposal permohonan bantuan kemanusiaan dan PT. Stanindo Inti Perkasa berinisiasi untuk memberikan dana kemanusiaan)

    Adapun mengenai pelaksanaan kerjasama antara PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Timah Tbk terdapat intruksi PT. Timah Tbk untuk mendirikan satu persekutuan komanditer guna menjadi perantara transaksi jual beli antara penambang timah dan PT Timah Tbk berdasarkan Surat Perintah Kerja Nomor : 56.UTD/Tbk/SPK-3130/19-S11.4 dimana menyebutkan dasar pembentukan dan kerjasama adalah sebagai berikut :
    • Intruksi Direksi No.030 /Tbk/INST-0000/18-$11.1 Tentang Melaksanakan Pengamanan Aset Cadangan Bijih Timah di Wilayah Izin
    Usaha Penambangan PT. Timah Tbk Tanggal 07 Februari 2018.


    • Standard Operating Procedure (SOP) PT.Timah Tbk Nomor : SOP/02/P2P Tanggal 14 Februari 2018. SK.No.1276/TBK/SK0000/18-$11.2 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Mitra Usaha dalam Rangka Kerja Sama Penambangan Darat dan Laut di lingkungan PT Timah Tbk Tanggal 05 Juni 2018


    • Standard Operating Procedure (SOP) PT.Timah Tbk Nomor : SOP/03/P2P Tanggal 30 Agustus 2018
    • Surat Perjanjian antara PT. Timah Tbk dengan PT. STANINDO INTI PERKASA Nomor: 740/Tbk/SP- 0000/2018-S11.4 Tanggal 05 Oktober 2018
    • Standard Operating Procedure (SOP) PT.Timah Tbk Nomor : SOP/05/P2P Tanggal 01 Oktober 2018
    CV Bangka Jaya Abadi pada prinsipnya telah dibentuk berdasarkan standar operasional maupun intruksi sebagaimana telah ditetapkan oleh PT. Timah Tbk sehingga tidak terdapat unsur pembentukan “perusahaan boneka” sebagai didalilkan oleh Jaksa Penuntut Umum;

    Berdasarkan mekanisme kerjasama yang terlaksana pun, pada mulanya pihak penambang yang berada pada wilayah IUP OP PT. Timah Tbk secara perorangan melakukan pengiriman timah pada gudang biji timah milik PT. Stanindo Inti Perkasa yang telah disewa oleh PT. Timah Tbk;

    Bahwa setiap pihak yang ingin mengirimkan bijih timah wajib memiliki surat jalan sebagaimana diterbitkan oleh PT. Timah Tbk wajib di tunjukkan kepada Pihak PT. Timah Tbk (yang berada di gudang) dan Pihak PT.Stanindo Inti Perkasa;

    Di dalam gudang pengumpulan bijih timah adalah 1 orang Pengawas Produksi, 1 orang Unit Peleburan, dan Penglogaman mitra (UUPM) dan 1 security sehingga segala aktivitas pengumpulan/ pengiriman timah diawasi secara langsung oleh Pihak PT. Timah Tbk;

    Kemudian setelah dilakukan pengiriman, maka hasil biji timah akan dilakukan pemeriksaan SN secara bersama-sama oleh PT. Timah Tbk dan PT. Stanindo Inti Perkasa sebagai pihak peleburan, kemudian sampel biji timah akan diberikan kepada Pihak PT. Timah Tbk, PT. Stanindo Inti Perkasa dan Penjual Timah;

    Terkait penentuan harga langsung ditentukan oleh PT. Timah Tbk sehingga CV. Bangka Jaya Abadi hanya mengikuti berdasarkan ketentuan harga yang telah di tentukan oleh PT. Timah Tbk;

    Dalam mekanismenya CV. Bangka Jaya Abadi akan mengirimkan invoice tagihan pembayaran terhadap hasil biji timah kepada PT. Timah Tbk;

    Bahwa CV. Bangka Jaya Abadi hanya perantara dalam proses penerima dan pembayaran oleh PT. Timah Tbk kepada penambang;

    Bahwa setelah proses pengiriman dan pembayaran timah selesai maka barulah timah diproses kembali oleh PT. SIP untuk dileburkan menjadi timah balok;

    Bahwa setelah timah menjadi balok, maka balok timah akan dikirimkan kembali kepada PT. Timah Tbk;

    Bahwa adapun atas pembayaran dana CSR (Corporate Social Responbility) sebagaimana didalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai dana keamanan yang dibayarakan oleh perusahaan smelter kepada Harvey Moeis adalah merupakan satu hal yang tidak dapat dikaitkan sebagai unsur kerugian negara dalam pasal tindak pidana korupsi;

    Pada faktanya PT. Stanindo Inti Perkasa membayar CSR hanya sebatas menjalankan kewajiban “social responbility” sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas;

      Bahwa atas pembayaran dana CSR (Corporate Social Responbility) ini pun didasarkan oleh rasa empati PT. Stanindo Inti Perkasa , dimana PT. Stanindo Inti Perkasa hanya mengetahui bahwa dana CSR (Corporate Social Responbility) merupakan dana kemanusian yang diberikan oleh perseroan terbatas kepada masyarakat;

      Bahwa pun apabila terjadi penyalahgunaan atau penyaluran yang tidak tepat maka yang patut dimintai pertanggung jawaban adalah Harvey Moeis selaku inisiator dalam pembayaran dana CSR (Corporate Social Responbility) ;

      Bahwa hal ini adalah satu hal yang tidak relavan apabila akibat dana CSR
      (Corporate Social Responbility) menyebabkan pemidanaan bagi PT. Stanindo Inti Perkasa yang pada dasarnya hanya memiiliki niat baik dalam pemberian dana kemanusiaan;

      Bahwa selain itu diketahui Bambang Hero Saharjo selaku Ahli Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ditunjuk oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia memberikan keterangan pada perkara mega korupsi tataniaga timah tahun 2015-2022 menyebutkan nilai kerusakan lingkungan sebesar Rp.271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun);

      Bahwa atas perhitungan Bambang Hero Saharjo tersebut telah menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam merumuskan dakwaan maupun tuntutan kepada para Terdakwa sebagaimana dipersangkakan telah melakukan tindak pidana korupsi tataniaga timah;

      Bahwa selain itu, atas perhitungan tersebut telah menggegerkan publik karena digadang-gadang menyebabkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp.271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun) dengan melibatkan pihak PT. Timah Tbk dan perusahaan peleburan (smelter) swasta lainnya;

      Bahwa berdasarkan dalil yang Bambang Hero Saharjo sampaikan didalam persidangan menyebutkan angka kerugian tersebut merupakan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan lingkungan pada lubang galian seluas 170.363,064 hektar;

      Bahwa namun atas perhitungan tersebut, belakangan ditemukan fakta bahwasanya Bambang Hero Saharjo tidak berkompeten dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara;

      Bahwa diketahui Bambang Hero Saharjo tidak memiliki relavansi dalam penghitungan perhitungan kerugian negara dikarenakan Bambang Hero Saharjo adalah Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan bukan merupakan Ahli Keuangan Negara;

      Bahwa padahal seharusnya apabila berbicara mengenai kerugian negara, maka pihak yang berkompenten dalam melakukan penghitungan adalah Ahli Keuangan Negara yang terverifikasi lebih lanjut oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan);

      Bahwa berdasarkan fakta persidangan pun, Bambang Hero Saharjo terbukti tidak dapat menjelaskan mengenai metode perhitungan yang digunakan dalam menafsirkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan;

      Bahwa selain itu Bambang Hero Saharjo secara tidak professional dalam menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan tidak memisahkan kerugian antara IUP OP Timah Tbk dan Non PT. Timah Tbk, dimana saat hendak dikonfirmasi dalam persidangan Bambang Hero Saharjo malah menjawab : “aduh saya malas Yang Mulia”;

      Bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia diduga secara tendensius tidak mempertimbangkan Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan apabila : Ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditunjuk oleh:
      a) Pejabat Eselon 1 dibidang Penataan Hukum Lingkungan Instansi
      Lingkungan Hidup Pusat
      b) Eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah

      Bahwa kemudian berdasarkan uraian Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan apabila dalam menyampaikan hasil penelitian harus didasarkan pada bukti berupa:

        • Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup
        Terhadap penghitungan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup harus dihitung berdasarkan lubang galian tambang bukan pencemaran/pengrusakan lingkungan hidup, penambangan merupakan ranah berbeda dan harus merupakan wewenang itu diurus
        Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
        • Valuasi Ekonomi Lingkungan
        Bahwa terhadap perhitungan valuasi ekonomi lingkungan bukan merupakan wewenang Bambang Hero Saharjo (perhitungan harus dilakukan oleh Ahli Valuasi Ekonomi Lingkungan)

        Bahwa dalam melakukan perhitungan kerugian Negara sebagaimana diuraikan diatas pun wajib melalui penunjukan oleh Eselon 1 Bidang Penataan Lingkungan Hidup;

        Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, seharusnya Bambang Hero Saharjo tidak boleh ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) apalagi Penyidik Kejaksaan untuk menjadi Ahli dalam perhitungan kerugian negara;

        Bahwa berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup sudah secara jelas diatur mengenai tujuan penggunaan hitungan berdasarkan yaitu untuk penilaian awal dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup;

        Bahwa hitungan ditulis redaksional sebagai “penilaian awal” karena hitungan tersebut dapat berubah;

        Bahwa berdasarkan Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
        Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa :
        “Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.”

        Bahwa atas klausula “dapat mengalami perubahan” artinya adalah hasil perhitungan ini bukanlah hasil yang nyata dan pasti, karena hasil perhitungan masih dapat berubah dipengaruhi oleh faktor sebagaimana disebut dalam Pasal 6 Ayat 3, Ayat 4 dan Ayat 5 Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup;

        Bahwa oleh karena perhitungan “dapat berubah”, sehingga hasil perhitungan bukan merupakan hasil perhitungan yang NYATA dan PASTI, maka cara perhitungan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup ini tidak diperbolehkan untuk dijadikan landasan menghitung KERUGIAN KEUANGAN NEGARA. Karena kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti;

        Bahwa tindakan menghitung KERUGIAN KEUANGAN NEGARA dengan menggunakan aturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup merupakan suatu PENYIMPANGAN HUKUM DAN MELANGGAR HAK ORANG LAIN apalagi sampai membuat orang terpenjara, mengganti rugi sekian Triliun bahkan MENURUNKAN TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI BANGKA BELITUNG;

        Bahwa adapun mengenai kerugian negara “actual loss” berdasarkan faktafakta persidangan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak dapat membuktikan mengenai kerugian negara tersebut;

        Bahwa tidak ada satupun bukti yang mendukung terdapat aliran dana kerugian negara “actual loss” yang disebabkan oleh perkara sebagaimana disebut sebagai mega korupsi tata niaga timah tersebut diatas;

        Bahwa kesalahan penanganan perkara ini telah berimplikasi pada penurunan perekonomian maupun kekacauan sosial masyarakat Bangka Belitung dalam cakupan global sebagaimana diuraikan dibawah ini :
        • Bahwa seperti yang diketahui mayoritas pekerjaan masyarakat Bangka Belitung adalah bergerak disektor penambangan, sehingga hal ini sangat berdampak secara merata kepada masyarakat Bangka Belitung baik dari sudut pandang korporasi maupun perorangan;
        • Bahwa telah terjadi pengakhiran hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran oleh seluruh perusahaan smelter swasta yang berada di wilayah Bangka Belitung;
        • Bahwa hal ini sangat berimplikasi secara kompleks karena perekonomian masyarakat Bangka Belitung menjadi semakin terguncang;
        • Bahwa pertumbuhan perekonomian Bangka Belitung mengalami penurunan drastis dimana tercatat hanya mencapai 0,13 persen sehinga menjadikan Bangka Belitung sebagai daerah dengan
        perekonomian terendah di Sumatera;
        • Bahwa berdasarkan data bulan Agustus 2024 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Bangka Belitung sebesar 4,63 persen naik dari yang semula sebesar 4,56 persen pada agustus 2023;
        • Bahwa penurunan perekonomian ini terjadi akibat turunnya daya jual timah maupun tingkat pengangguran terbuka (TPT) di wilayah Bangka Belitung;
        • Bahwa selain itu “framing” buruk kepada Bangka Belitung akibat perhitungan yang sangat fantastis oleh Bambang Hero Saharjo tersebut telah menyebabkan para perorangan maupun korporasi yang tidak seharusnya dipersalahkan dihujat/direndahkan/dihina bahkan dikucilkan oleh segenap masyarakat Republik Indonesia;
        • Bahwa akibat perhitungan tersebut sangat-sangat berpengaruh pada seluruh masyarakat indonesia, sehingga apabila terjadi kesalahan hitung maka hal tersebut merupakan suatu kejahatan luar biasa yang dapat menggoncang Indonesia;
        • Bahwa tindakan tersebut telah memecah belah masyarakat Indonesia dan menyebabkan ketidak-adilan yang mendasar sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Negara Republik
        Indonesia tahun 1945.

          (TJI/Ril)

          Post Comment